19 September, semangat itu lahir !
Sejak Proklamasi Kemerdekaan RI diproklamirkan, 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia merayakan dengan suka cita. Menandai kemerdekaan itu, tak ketinggalan arek-arek Suroboyo satu persatu menancapkan tiang, mengibarkan bendera merah putih di berbagai sudut kota, menyambut peristiwa maha penting bagi rakyat Indonesia.
Meskipun begitu, pengibaran masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena penjajahan Jepang belum sama sekali hilang. Namun setelah munculnya maklumat Pemerintah (31 Agustus 1945) yang menetapkan mulai 1 September 1945 bendera Nasional Sang Merah Putih agar dikibarkan terus di seluruh Indonesia, di berbagai tempat strategis dan tempat-tempat lainnya, usul-menyusul bendera dikibarkan dimana-mana. Gerakan pengibaran pun makin meluas ke segenap kota hingga ke pelosok desa.
Jepang dan Indo Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu rencana dengan mebentuk sebuah organisasi, Komite Kontak Sosial, yang kemudian mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross).
Berlindungnya dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang, beberapa tempat telah mereka duduki, termasuk Hotel Yamato (sekarang hotel Majapahit). Pada tanggal 18 September 1945, datanglah opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Alled Command (utusan Sekutu) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta. Rombongan Sekutu tersebut oleh Jepang ditempatkan di Hotel Yamato, Jl. Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan (sekarang BPN), Jl. Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karasidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan Markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisioners of War and Interness).
Karena kedudukannya mereka merasa kuat, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari (18 September 1945, sekitar pukul 21.00) mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI di Surabaya, di tiang teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya (19 September 1945) ketika arek Surabaya melihatnya, seketika meledak amarahnya, bagi arek-arek Suroboyo, pengibaran bendera tri-warna adalah bentuk penghinaan, mengingat kemerdekaan Indonesia sudah diprolamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
"Cak, londo nggateli... cek wanine masang benderane maneh," ungkap salah satu pemuda di kampung lawas Maspati
"Janc*k, nangndi Sur?" dengan cepat Cak Boyo merespon
"Nang Tunjungan cak, nang hotel Yamato" tambah Suro dengan emosi.
"Ayo budhal, ajak laine!"
Begitu kabar tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jalan Tunjungan dibanjiri oleh massa rakyat, mulai dari pelajar belasan tahun hingga pemuda dewasa, semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel, situasi saat itu menjadi sangat eksplosif.
Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai wakil residen (Fuko Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. Ia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Belanda Triwarna segera diturunkan.
Ploegman menolak, bahkan dengan kasar mengancam,
“Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintah Hindia Belanda. Republik Indonesia ? Tak pernah kami akui.”
Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar.
Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. Hariyono segera membawa Sudirman keluar, sementara Sidik terus bergulat denga Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang disabetkan ke arah Sidik, Sidik pun tersungkur.
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu merasa terbakar dan langsung merangngsek masuk ke hotel, terjadilah perkelahian di ruang muka hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, dengan semangat mereka merobek yang biru dan mengereknya kembali ke puncak tiang. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera merah putih itu dengan pekik “Merdeka” berulang kali dan tangis gembira, tanda kemenangan, kehormatan kedaulatan negara RI.
Peristiwa heroik yang terjadi di hotel Yamato itu merupakan salah satu tiga peristiwa besar yang menyulut pertempuran akbar 10 November 1945. Menurut sejarahwan UI, Roesdhy Hoesein tiga peristiwa besar itu adalah perobekan bendera (19 September 1945), Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 dan peristiwa heroik 27-29 Oktober yang berujung tewasnya Jenderal Mallaby.
Hari ini 19 September 2016, 71 tahun sudah sejak peristiwa itu terjadi, semangat arek-arek Suroboyo yang tak rela harga diri Bangsa nya diinjak oleh “londo” patut kita teladani bersama, mereka telah mencatatkan darahnya di lembar sejarah yang mungkin tak terbaca oleh generasinya. Sebagai bentuk syukur dan keteladanan yang telah diberikan saya mengajak para pembaca untuk meluangkan sedikit waktunya untuk mendoakan para pahlawan “Arek-arek Suroboyo yang telah gugur berjuang”. Semoga semangat itu tetap mengalir pada jiwa “Arek-arek Suroboyo” saat ini, yaitu semangat yang "tatak, wani, dan gak gembeng" !
19 September 2016
Hotel Mojopahit
Cakfeb
LoveSuroboyo
_______________
Diolah dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment